UJIAN UMMAT AKHIR ZAMAN:RIBA
"Ingatlah,
Sekarang ini, Ummat islam, diabad ini, SEDANG berendam dengan najis
RIBA yang begitu besar dan Umat Nabi Muhammad SAW diabad ini adalah
musuh ALlah SWT!!! bukan Hamba ALLAH SWT, MENGAPA???...JAWAPANYA MUDAH,
selagi koin koin dinar dan dirham tidak berlegar dalam urusan harian
kita, selagi itulah kita terjerat dalam "muamalah" yang dikompromikan
dengan SISTEM KAPITALIS!!
Sistem Kapitalis yangditegakkan berasakan "HUTANG' bukan seperti sistem Islam yang berasaskan harta sebenar dan nilai sebenar.."
Riba Adalah Ujian Untuk Umat Ini
Tiap-tiap
umat Allah turunkan ujian besar sebagai pengukur tahap keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah. Umat Nabi Lut menghadapi ujian homosexs, umat
Nabi Ibrahim menghadapi Raja Namrud yang mempertahankan berhala, umat di
zaman Nabi Musa menghadapi ujian sihir oleh Firaun, umat di zaman Nabi
Isa di uji dengan penyakit dan Nabi Isa diberi mukjizat untuk
menyembuhkan penyakit kusta dan buta, dan umat Nabi Muhammad s.a.w ialah
kekayaan yang menjerumuskan riba.
Rasulullah
s.a.w bersabda yang bermaksud: “Sesungguhnnya bagi setiap umat itu
mempunyai ujian dan ujian bagi umatku adalah harta kekayaan.” Riwayat
at-Tirmidzi
Dalam Hadis riwayat Abu Daud dan Ibn Majah, Rasulullah s.a.w dilapurkan berkata:
“Sesungguhnya akan datang kepada
manusia suatu zaman di mana tidak akan terlepas seorang pun, melainkan
akan makan riba, maka sesiapa yang tidak memakannya riba akan terkena
juga debu-debu riba itu.”
Definisi Riba
Ditinjau dari ilmu bahasa Arab, riba bermaknakan: Tambahan, tumbuh, dan menjadi tinggi.
Firman Allah Ta'ala berikut merupakan contoh nyata akan penggunaan kata riba dalam pengertian seperti ini:
"Dan
kamu lihat bumi ini keringJ kemudian apabila Kami turunkan air
diatasnyaJ hiduplah bumi itu dan menjadi tinggi (suburlah) dan
menumbuhkan berbagai macam tumbuh- tumbuhan yang indah." (QS.Al-Hajj: 5)
Adapun
dalam pemahaman syari'at, maka para ulamak mempunyai pendapat yang
berbeza dalam mendefinisikannya, akan tetapi maksud dan maknanya tidak
jauh berbeda. Diantara definisi yang boleh mewakili berbagai definisi
yang ada ialah:
"Suatu
akad/transaksi atas barang tertentu yang ketika akad berlangsung,
tidak diketahui kesamaannya menurut ukuran syari'at atau dengan menunda
penyerahan kedua barang yang menjadi objek akad atau salah satunya”.
Ada juga yang mendefinisikannya sebagai berikut:
"Penambahan pada komoditi barang dagangan tertentu”.
Hukum Riba
Tidak
asing lagi bahwa riba adalah salah satu hal yang diharamkan dalam
syari'at Islam. Sangat banyak dalil-dalil yang menunjukkan akan
keharaman riba dan berbagai sarana terjadinya riba.
Firman Allah Ta'ala berikut adalah salah satu dalil yang nyata-nyata menegaskan akan keharaman praktek riba:
"Hai
orang-orang yang beriman) janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan." ( QS. Ali Imran:130)
Ibnu
Katsir ketika menafsirkan ayat ini berkata, Allah Ta'ala melarang
hamba-hamba-Nya kaum mukminin dari praktik dan memakan riba yang
senantiasa berlipat ganda. Dahulu orang-orang jahiliyyah bila hutang
sudah lebih tempoh, mereka berkata kepada yang berhutang, 'Engkau
menjelaskan hutangmu atau membayar riba.' Bila ia tidak menjelaskannya,
maka pemberi hutangpun menundanya dan orang yang berhutang menambah
jumlah pembayarannya. Demikianlah setiap tahun; sehingga hutang yang
sedikit menjadi berlipat ganda besar jumlahnya. Dan pada ayat ini Allah
Ta'ala memerintahkan hamba-Nya untuk senantiasa bertakwa agar mereka selamat di dunia dan di akhirat.
Pada ayat lain, Allah Ta'ala berfirman:
"Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba. Allah
telah menghalalkan perniagaan dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang
yang senantiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shalih,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi
Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba)
maka ketahuilah bahwaAllah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu
tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. Al-Baqarah: 275-279)
Ancaman Allah Terhadap Pelaku Riba
Ancaman
bagi orang yang tetap menjalankan praktek riba setelah datang
kepadanya penjelasan dan setelah ia mengetahui bahwa riba diharamkan
dalam syari'at Islam,
akan
dimasukkan ke neraka. Bahkan bukan sekedar masuk kedalamnya, akan
tetapi dinyatakan pada ayat diatas bahwa "ia kekal di dalamnya."
Allah Ta'ala mensifati pemakan riba sebagai
"Orang yang senantiasa berbuat kekafiran/ingkar, dan selalu berbuat dosa."
Ibnu Katsir berkata, "Sesungguhnya pemakan riba tidak rela dengan pembagian Allah untuknya, berupa rezki yang halal, dan merasa tidak cukup dengan syari'at Allah yang telah membolehkan untuknya berbagai cara mencari penghasilan yang halal. Oleh karenanya, ia berusaha untuk mengambil harta orang lain dengan cara-cara yang bathil, yaitu dengan berbagai cara yang buruk. Dengan demikian sikapnya merupakan pengingkaran terhadap berbagai kenikmatan, dan amat zhalim lagi berlaku dosa, yang senantiasa memakan harta orang lain dengan cara-cara yang bathil."
Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah berkata, "Allah Yang Maha Suci telah menyebutkan
sikap seluruh manusia dalam hal harta benda pada akhir surat AI-Baqarah,
yaitu terbagi menjadi tiga bahagian: Adil, zhalim, dan keutamaan.
Keadilan berupa akad jual beli, zhalim berupa perbuatan riba, dan
keutamaan berupa sedekah. Kemudian Allah memuji orang-orang yang
bersedekah dan menyebutkan pahala mereka, Dia mencela pemakan riba dan
menyebutkan hukuman mereka, dan Dia membolehkan jual beli serta hutang
piutang hingga tempoh yang telah ditentukan."
Dan diantara dalil dari hadits-hadits Nabi s.a.w yang menunjukkan akan haramnya riba, ialah hadits berikut:
Dari
sahabat ]abir r.a , ia berkata, "Rasulullah s.a.w telah melaknati
pemakan riba , orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya
(sekretarinya), dan juga dua orang saksinya." Dan beliau juga
bersabda, "Mereka itu sama dalam hal dosanya." (HR. Muslim)
Orang
yang dilaknat ialah orang yang dijauhkan atau didoakan agar dijauhkan
dari kerahmatan Allah Ta'ala. Agar kita semua semakin memahami tentang
betapa besarnya dosa memakan harta riba, maka saya mengajak pembaca
untuk merenungkan sabda Rasulullah s.a.w berikut, yang menjelaskan kadar
dosa memakan harta riba:
"(Dosa)
riba itu memiliki tujuh puluh dua pintu, yang paling ringan ialah
semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.
Dan sesungguhnya riba yang paling besar ialah seseorang yang melangggar
kehormatan/harga diri saudaranya." (HR. Ath-Thabrani dan lainnya serta disahihkan oleh Al-Albani)
Karena
hukum dan dosa riba demikian besarnya, maka sudah semestinya wajib
atas setiap orang Islam untuk memahaminya dan mengetahui berbagai
transaksi yang tergolong kedalamnya, agar tidak tergelincir dalam
perbuatan dosa besar ini. Lebih-lebih lagi pada zaman sekarang, dimana
sikap tamak untuk mengaut harta telah menguasai kebanyakan manusia.
Betapa besarnya dosa riba ini hinggakan Allah dan RasulNya mengisytiharkan perang keatas pengamal riba.
Sahabat
nabi Ibnu 'Abbas r.a menjelaskan maksud ini dengan berkata, "Yakinilah
(wahai para pemakan riba) bahwa Allah dan Rasul-Nya pasti memerangi
kalian."
Pada
riwayat lain beliau berkata, "Kelak pada hari kiamat, akan dikatakan
kepada pemakan riba: Ambillah senjatamu untuk berperang (melawan Allah
dan Rasul-Nya)."
Ibnul
Qayyim berkata, "Allah Ta'ala menekankan hukum keharaman riba dengan
suatu hal yang paling berat dan keras, yaitu berupa peperangan pemakan
riba melawan Allah dan Rasul-Nya, Allah Ta'ala berfirman:
"Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu." (QS. Al-Baqarah: 279)
Pada
ancaman ini, dinyatakan bahwa pemakan riba adalah orang yang memerangi
Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana Allah juga telah mengumandangkan
peperangan dengannya. Ancaman semacam ini tidak pernah ditujukan kepada
pelaku dosa besar selain memakan riba yang berupaya membuat kerusakan
di muka bumi. Hal ini dikarenakan masing-masing dari keduanya sedang
berupaya membuat kerusakan di muka bumi. Pemakan riba berbuat kerusakan
dengan sikapnya yang enggan memudahkan kesusahan orang lain, melainkan
dengan cara membebankan kepada mereka kesusahan yang lebih berat.
Allah mengisytiharkan kepada pemakan riba peperangan dari-Nya dan dari
RasulNya.
Fractional Reserve Banking (FRB)
Fractional
Reserve Banking (FRB) merupakan asas sistem kewangan dunia kini adalah
tunjang kepada meluasnya amalan Riba-Kapitalis. Oleh kerana perbankan
Islam di Malaysia tertakluk kepada kawalan Bank Negara di bawah Akta
Bank Islam 1983, maka adalah Bank Islam juga mengamalkan dasar
Riba-Kapitalis ini.
Berikutan
berkuburnya perjanjian Bretton Woods pada 1971 apabila Amerika
Syarikat membebaskan dollar dari bergantung kepada emas dan menjadikan
dollar matawang kertas fiat sepenuhnya, nilainya hanyalah di sokong
oleh janji kerajaan federal. Dari penggunaan wang kertas fiat inilah
menghasilkan konsep FRB.
Fractional
Reserve Banking secara mudahnya adalah pihak bank hanya perlu
mengekalkan pecahan kecil sahaja duit penyimpan sebagai rezab, manakala
yang selebihnya digandakan dan diberi sebagai pinjaman dan dikenakan
lagi bunga (bank islam di istilahkan untung). Sebab inilah agaknya
golongan Riba-Kapitalis amat menentang perlaksanaan hukum hudud yang
menakutkan pencuri, kerana tanpa pencuri rakyat tidak takut untuk
menyimpan di rumah dan bank-bank tidak berpeluang mencetak wang gandaan
yang baru! Penciptaan matawang melalui sistem FRB ini sebenarnya
mengadakan keadaan kuasa membeli atas angin yang menimbulkan ketidak
adilan didalam pemilikan harta benda dan menyebabkan inflasi,seterusnya
kenaikan harga barang akan ditanggung oleh rakyat akibat kesan faedah
(interest/riba) yang terbina didalam wang kertas.
Kadar
pecahan (FRB) ditentukan oleh bank pusat dan istilahkan sebagai
statutory reserve requirement (SRR). Di Malaysia, kadar SRR terbaru yang
dikeluarkan oleh Bank Negara Malaysia untuk perbankan Islam pada 2
April 2011 adalah minimum 2% daripada jumlah simpanan. Keperluan
simpanan rezab adalah nisbah simpanan yang mesti disediakan oleh pihak
bank bagi keperluan pengeluaran simpanan oleh pelanggan. Di bawah system
ini, simpanan wang yang asalnya RM1,000 sebagai contoh, membolehkan
pihak bank meningkatkan simpanan kepada kadar maksimum RM50,000 (iaitu
RM1,000 bahagi dengan kadar SRR sebanyak 2%). Penciptaan wang baharu ini
yang laksanakan melalui kaedah mengadakan pinjaman sebenarnya adalah
mainan perakaunan yang tidak perlu melibat duit sebenar. Inilah juga
menjadi amalan dalam system perbankan islam yang mengukuhkan lagi
kewangan Riba-Kapitalis ini. Ini bermakna bahawa pembiayaan bank Islam
didasarkan pada wang pinjaman bank yang mereka tidak miliki samada wang
tunai ataupun simpanan emas.
Inilah
isu yang amat berat perlu dibincangkan dan di tangani oleh
ulamak-ulamak perbankan dalam pembiayaan Islamik (dan juga dalam konsep
konvensional) ialah isu yang melibatkan bagaimana duit dihasilkan oleh
bank Islam. Ulamak-ulamak perbankan inilah yang menjadi barisan hadapan
mempertahan dasar-dasar yang jelas menyeleweng ini, apakah mereka
terlalu bijak ataupun jahil dalam asas-asas sistem kewangan. Apakah
mereka mendapati habuan yang amat lumayan hingga lupa akan ancaman
perang yang Allah isytiharkan terhadap perbuatan riba.
Semua
bank Islam menghasilkan wang apabila mereka memberikan pinjaman atau
pembiayaan. Sebagai contohnya, apabila bank Islam membiayai sebuah rumah
yang berharga RM250,000, ia hanya menghasilkan wang melalui akaun
semata-mata. Duit pendeposit tidak akan ditolak apabila RM250,000 itu
dibayar oleh pihak bank kepada pembeli ataupun pemaju.
Sudah
tentu ini akan mewujudkan inflasi.Kebanyakan inflasi dalam ekonomi
disebabkan penghasilan wang secara percuma, berbanding dengan kekurangan
bekalan. Inflasi pnghasilan wang baru ini akan mengakibatkan cukai ke
atas orang ramai dengan merampas kuasa membeli simpanan mereka. Namun,
ulama Syariah hanya mendiamkan diri, tiada berkata apa-apa tentang
penghasilan wang ini. Penghasilan wang baru ini sudah tentu seperti
mencuri kekayaan negara.
Jika
seseorang meminjam RM1,000 pada kadar faedah 10 peratus, orang
tersebut perlu memulangkan kembali sebanyak RM1,100. Kadar faedah yang
dikenakan sebanyak RM100 dikatakan sebagai riba atau memakan riba yang
telah ditetapkan terlebih dahulu, diperolehi tanpa mengambil apa-apa
risiko. Tetapi bagaimana jika RM1,000 itu tidak menghasilkan apa-apa?
Ia juga bukan menghasilkan kuasa pembeli yang percuma tanpa risiko
'negatif'? Malah, jika 10 kali ganda kadar faedah, bukankah ini
dianggap sebagai riba yang hebat?
Oleh itu, menjalankan pembiayaan Islamik ini yang diberikan berbagai-bagai nama seperti Bai’ Bithaman 'Ajil, Bai’ Murabahah,
Musharakah Mutanaqisah, dengan wang yang dihasilkan secara percuma
oleh sistem bank ini harus dipersoalkan. Kita berharap ulamak perbankan
yang bijak pandai itu perlu menjelaskan perihal yang sebenar terhadap
system kewangan perbankan Islam yang di amalkan di sini kepada umat
Islam atau bersedialah menghadapi perang yang diistiharkan oleh Allah
dan Rasul!
Kesan Terhadap Hakmilik dari system FRB
Kesan
pemilikan daripada FRB boleh dihuraikan sebagai berikut. Pertimbangkan
seorang pengusaha mendekati bank dengan rancangan perniagaan, mencari
pinjaman perniagaan untuk membeli tanah, bangunan, mesin dan lain-lain
keperluan. Apabila lulus, bank mencipta wang baru melalui FRB dan
pinjaman itu diberikan ke pengusaha dengan kadar untung tertentu.
Perbankan Islam akan menggunakan wang baru dibuat untuk membeli aset
dan menjualnya kembali kepada pengusaha dengan membuat keuntungan.
Implikasi adalah sebagai berikut. Pengusaha itu menggunakan pinjaman
wang untuk membeli tanah, bangunan dan mesin yang dia inginkan. Dia
sekarang mempunyai aset tersebut. Sekarang persoalannya adalah; Pada
awalnya, baik bank maupun pengusaha, tidak memiliki aset. Bahkan bankpun
pada awalnya tidak punya mempunyai wang. Tapi pengusaha dan bank
menjadi pemilik asset tersebut selepas mencipta wang atas angin, melalui
proses FRB. Dari perspektif ekonomi sebenar, setiap pindah milik aset,
yang bukan hadiah, atau juga warisan, mestilah di beri pampasan. Jika
demikian, siapa yang kemudian membayar untuk pembelian asset tersebut?
Perhatikan bahawa pengenalan wang baru telah membolehkan pemilikan
aset. Namun sekarang lebih banyak wang ada dalam sistem ekonomi dari
sebelumnya. Inilah caranya inflasi dicipta. Akibatnya matawang kertas
yang kita pegang ini sekarang sudah kurang kuasa beli kerana inflasi
yang dicipta ini. Sudah tentu jumlah kuasa beli sebenar kita akan hilang
dalam ekonomi bersamaan dengan nilai aset yang dipindahkan kepada
pengusaha dan bank!
Oleh kerana itu inflasi merupakan
fenomena kewangan, iaitu akibat pertambahan bekalan wang, secara tidak
disedari ia merupakan 'cukai' terhadap ekonomi, cukai tersembunyi
samada untuk orang kaya atau miskin. Sesungguhnya ia menepati istilah
riba yang sebenarnya iaitu mengambil memakan harta secara bathil.
"Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu makan (gunakan) harta-harta
kamu sesama kamu dengan jalan yang salah (tipu, judi dan sebagainya),
kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan secara suka sama suka di
antara kamu, dan janganlah kamu berbunuh-bunuhan sesama sendiri.
Sesungguhnya Allah sentiasa Mengasihani kamu." (An-Nisaa' 4:29)
Dari
perspektif Islam, apakah itu dibenarkan bahawa bank mengambil
pemilikan aset seseorang dan meminjamkan kembali kepada seseorang lain
untuk tujuan perusahaan atau kegunaan, setiap kali adanya seseorang
memerlukan aset tersebut? Misalnya, ketika seseorang perlu rumah,bank
mencipta wang baru dan menggunakannya untuk memiliki rumah tersebut dan
pinjaman itu kepada diberikan kepada pelanggan dengan dikenakan bunga
atau pengambilan untung dalam kes pembiayaan Islam? Ini jelas melanggar
prinsip-prinsip pemilikan dalam Islam. Ini adalah sama dengan mencuri,
iaitu mengambil pemilikan aset milik orang lain tanpa pengetahuan dan
kebenaran mereka. Ia bahkan dapat disebut sebagai lebih buruk daripada
mencuri kerana Dalam kecurian, pencuri mengambil risiko ditangkap dan
dihukum. Namun, di bawah system perbankan kecurian dilakukan di dalam
undang-undang dan kerananya FRB boleh disebut sebagai ‘pencuri yang di
lindungi undang-undang’. Unsur-unsur riba amatlah nyata kerana itu
adalah kuasa beli dicipta atas angin, tanpa sebarang pekerjaan atau
tidak menanggung sebarang risiko. Jelas amat bertentangan dengan
Al-Quran ayat Al Baqarah bahawa umat Islam diperintah untuk tidak
memakan harta orang lain dengan tipu-daya.
"Dan
janganlah kamu makan (atau mengambil) harta (orang-orang lain) di
antara kamu dengan jalan yang salah, dan jangan pula kamu menghulurkan
harta kamu (memberi rasuah) kepada hakim-hakim kerana hendak memakan
(atau mengambil) sebahagian dari harta manusia dengan (berbuat) dosa,
padahal kamu mengetahui (salahnya)." (Al-Baqarah 2:188)
Perbankan Islam Tidak Ambil Risiko Menanggung Kerugian
Ditinjau dari tujuannya, berbagai transaksi yang dilakukan oleh manusia dapat kita bagi menjadi tiga bahagian:
- Transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan seperti jual beli, sewa-menyewa, mudharabah dan lain-lain.
- Transaksi
yang bertujuan memberikan pertolongan dan meringankan kesusahan
orang lain seperti hutang-piutang, peminjaman barang, berniaga,
hibah dan lain-lain.
- Transaksi
yang bertujuan memberikan jaminan kepada pihak lain bahwa haknya
tidak akan hilang seperti gadaian, jaminan dan lain-lain.
Akad
jenis kedua, biasanya terjadi antara orang yang sedang dalam kesusahan
sehingga ia perlukan pertolongan orang lain yang mempunyai harta benda
atau lainnya. Pada keadaan seperti ini, Islam mengajarkan kepada
umatnya untuk tidak menangguk dalam air keruh. Bahkan bukan sekadar
melarang, Islam juga menganjurkan umatnya untuk memberi bantuan kepada
orang yang memerlukan.
Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Rasulullah s.a.w bersabda,
"Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya.”
Dalam hal berhutang, Allah Ta'ala berfirman:
"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang)
itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 280)
Ibnu Taimiyyah berkata,
"Pada
asalnya tidaklah ada orang yang sudi untuk bertransaksi dengan cara
riba, selain orang yang sedang dalam kesusahan. Jika tidak, seseorang
yang telah senang tidak rela untuk membeli barang harga 1000 dengan
harga 1200 secara hutang, bila ia memang tidak memerlukan wang 1000
tersebut. Orang yang rela untuk membeli barang dengan harga yang
melebihi harga semestinya orang yang dalam kesusahan. Sehingga perbezaan
antara harga tunai dan harga kredit adalah kezaliman kepada orang yang
sedang mengalami kesusahan... Dan Riba benar-benar terwujud padanya
akibat kezaliman kepada orang yang sedang kesusahan. Sebab itulah, riba
sebagai lawan dari sedekah.
Allah tidaklah membebaskan orang-orang kaya, sehingga mereka menolong orang-orang fakir karena itulah kemaslahatan orang
kaya dan juga fakir dalam urusan agama. Dengan alasan yang sangat
mulia ini, syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang didapati
dari pinjaman hutang, dan menyebutnya sebagai riba. Oleh karenanya para
ulama menegaskan hal ini dalam sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam
ilmu fiqih, yaitu:
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.”
Imam
Asy-Syairazi asy-Syafi'i berkata, "Tidak dibenarkan setiap pinjaman
hutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan. Misalnya ia menghutangi
orang lain 1000 (dinar), dengan syarat penghutang menjual rumahnya
kepada pemberi hutang, atau mengembalikannya dengan kepingan dinar yang
lebih baik atau lebih banyak, atau menuliskan surat jaminan sehingga ia
diuntungkan dalam wujud rasa aman selama di perjalanan.
Diriwayatkan
dari sahabat Ubay bin Ka'ab, Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas r.a bahawa
mereka semua melarang setiap hutang yang mendatangkan manfaat karena
hutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan pertolongan,
sehingga bila pemberi hutang mensyaratkan suatu manfaat, maka akad
hutang telah keluar dari tujuan utamanya."
Muhammad
Nawawi al-Bantaani berkata, "Tidak dibenarkan untuk berhutang wang
atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan
bagi pemberi hutang misalnya dengan syarat, pembayaran lebih atau
dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan
ucapan sahabat Fudhalah bin 'Ubaid r.a:
“Setiap hutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba.”
Maksudnya
setiap piutang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan
mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi piutang maka itu adalah riba. Bila
ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal,
bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung."
Dari
penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa setiap keuntungan dalam
hutang piutang, baik berupa materi atau jasa atau yang lainnya adalah
haram, karena itu semua adalah
riba.
Bukan hanya mengharamkan riba, Islam juga membuka pintu-pintu kebaikan
dan amal shalih, yaitu dengan menganjurkan umatnya untuk menunda atau
memaafkan haknya,
Allah Ta'ala berfirman:
"Dan
bila orangyang berhutang itu dalam kesusahan maka berilah tangguh
sampai di berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang)
itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (QS.Al-Baqarah: 280)
Untuk
sedikit mengetahui betapa besarnya pahala yang akan didapatkan oleh
orang yang memberikan pertolongan kepada orang yang sedang kesusahan,
maka saya mengajak pembaca untuk kembali merenungkan kisah berikut:
Sahabat
Hudzaifah r.a menuturkan: Rasulullah s.a.w bersabda, "(Pada hari
kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah
Dia beri harta kekayaan, kemudian Allah bertanya kepadanya, Apa yang
engkau lakukan ketika di dunia? (Dan mereka tidak dapat menyembunyikan
dari Allah suatu kejadian) Ia pun menjawab, Wahai Rabbku, Engkau telah
mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual beli dengan
orang lain, dan kebiasaanku (akhlaqku) adalah senantiasa memudahkan,
aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada)
orang yang tidak mampu, Kemudian Allah berfirman, 'Aku lebih berhak
untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini." (Muttafaqun 'alaih)
Betapa
indahnya syariat Islam dan betapa mulianya akhlaq seseorang yang
benar-benar mengamalkan ajaran agama Allah. Jika beranjak dari hati yang
jernih dan obyektif kita mau merenungkan syariat Islam yang berkaitan
dengan hutang piutang ini, niscaya kita akan sampai pada keyakinan
bahwa syariat ini adalah syariat yang benar-benar datang dari Allah
Ta'ala.
Setelah
meneliti beberapa hadis Rasulullah s.a.w dan pandangan ulamak-ulamak
yang muktabar apakah kaedah perbankan Islam memenuhi kehendak syariat
Islam yang di anjurkan oleh Rasulullah s.a.w atau untuk memberikan
pertolongan kepada orang yang susah untuk mematuhi perintah Allah
didalam al quran? Setakat ini peranan bank Islam adalah jelas mengaut
keuntungan semata-mata meneruskan dasar Riba-Kapitalis. Hal ini adalah
kerana perbankan Islam tidak akan menanggung sebarang risiko kerugian
seperti termaktub didalam perjanjian dengan peminjam. Bila peminjam
mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapati
perbankan segera menghantar surat tuntutan untuk mengambil tindakan
mahkamah, untuk mendapatkan kembali keseluruhan modal yang dikeluarkan
berserta dengan tambahan bunga tanpa kurang walau sedikit, bahkan pasti
pula di tambah dengan berbagai-bagai yuran kononnya bayaran
pentadbiran. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan
dengan peminjamnya sebagai pengusaha bukanlah mudharabah akan
tetapi hutang-piutang berunsur riba walaupun di hias dengan
berbagai-bagai istilah. Para ulama dari berbagai mazhab telah
menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar
pengusaha memberikan jaminan seluruh atau sebahagian modalnya.
Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan Islam, iaitu mewajibkan
atas pengusaha untuk mengembalikan seluruh modal bila terjadi kerugian
adalah persyaratan yang bathil.
Kesimpulan
Kita
sama-sama menyeru kepada golongan bijak pandai didalam kewangan Islam
supaya menjelaskan perkara yang sebenarnya kepada umat Islam tentang
perbankan Islam setakat ini yang mengamalkan system FRB untuk
mengembangkan dana mereka yang jelas merupakan tunjang kepada
Riba-Kapitalis. Ulamak-ulamak perbankan ini sepatutnya malu kepada
Yahudi kerana mereka mengesahkan kaedah kapitalis ini keatas umat Islam,
sekurang-kurangnya Yahudi mengharamkan transaksi riba sesama mereka
tapi selain Yahudi mereka jalankan dengan penuh tipu daya. Perbankan
Islam menguar-uarkan berbagai instrument padahal kaedah asas perbankan
sama-sekali tidak berubah dari system Riba-Kapitalis.